Pengikut

Kamis, 19 Juli 2012

Terlihat Benar Tapi Belum Tentu Benar




Catatan Kepala: ”Sekalipun sudah berada dijalan yang benar, namun jika cara melintasi jalan itu tidak benar, maka kita belum menjadi orang yang benar”.
Sudah cukup sering kita berhadapan dengan orang-orang yang menganggap dirinya benar. Melakukan hal-hal yang benar. Dan memperjuangkan sesuatu yang diyakininya benar. Anehnya, kebenaran yang diperjuangkan itu berbenturan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam lingkup yang lebih besar. Orang-orang semacam itu tidak hanya bisa kita temui di jalan. Juga di lingkungan tempat kita tinggal. Maupun di kantor tempat kita bekerja. Orang-orang itu tidak berada jauh. Banyak yang dekat dengan kita. Ada yang sangat dekat dengan kita.
Bahkan ada yang sedemikian dekatnya sehingga jantungnya adalah jantung kita juga. Ehm, kalau begitu; orang itu adalah diri kita sendiri dong ya. Kita yang sering merasa telah berada di jalan yang benar, seolah hal lain di luar kita adalah salah.
Saya punya janji rapat presentasi program pelatihan saya dihadapan management sebuah group perusahaan. Berbekal alamat lengkap lokasi meeting, maka saya pun meluncur ke lokasi. Karena kurang faham wilayah itu, saya sesekali berhenti untuk menanyakan arah. Sesuai petunjuk orang yang ditanya, saya pun belok kanan. Alhamdulillah, nama jalannya sudah pas seperti seharusnya. Tinggal mencari menara perkantoran itu, sampailah. Namun, saya tidak kunjung menemukan menara itu, hingga nama jalan yang dilalui berubah. Saya putar arah, sampai diujung perempatan lagi. Menara itu tetap tidak ada. Apa pasal? Rupanya, jalan di seberang perampatan itu juga masih sambungannya. Seharusnya tadi saya belok kiri, karena menara itu ternyata berada di sebelah sana. Kejadian ini memberi saya pelajaran berharga, bahwa; “Sekalipun sudah berada dijalan yang benar, namun jika cara melintasi jalan itu tidak benar, maka kita belum menjadi orang yang benar.” Ini bukan sekedar soal mencari alamat tertentu, melainkan isyarat Ilahi tentang cara menelusuri sepanjang perjalanan hidup kita. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami isyarat itu dalam menjalani hidup, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang berikut ini:

1.      Berhenti merasa benar sendiri. Misalkan saja Anda sedang berada di jalan Jenderal Sudirman. Saat menelepon teman Anda, dia mengaku jika dia pun sedang berada di jalan yang sama. Apa yang selanjutnya Anda lakukan? Anda mengatakan bahwa dia berdusta? Tidak. Mungkin malah Anda akan bertanya; “Elu ada disebelah mana? O, gitu. Ya udah elu jangan kemana-mana. Gue langsung meluncur kesana.” Kan begitu. Mudah bagi kita untuk memahami hal itu. Yang sulit adalah ketika kita merasa semua kebenaran ini milik kita seluruhnya sedangkan semua orang lain salah. Karena sama-sama ngotot, maka kita saling mempertentangkan kebenaran masing masing. Padahal, boleh jadi sebenarnya kita berada pada ‘rute jalan’ yang sama, namun  kita berada pada ‘spot’ yang berbeda. Jika Anda bisa mengatakan ‘ya udah elu tunggu aja, sebentar lagi gua kesana’ di Jalan Jenderal Sudirman itu, kenapa sih kita tidak bisa mengatakan;’Elu bener. Gue pun akan punya keyakinan serupa itu jika menggunakan sudut pandang nyang entu…” Itu loh yang sering kita sebut sebagai empati itu. Kita memahami latar belakang dan sudut pandanganya, sehingga bisa memahami pendapatnya. Dan sikap serupa itu, hanya bisa kita miliki jika kita berhenti untuk merasa benar sendiri.

2.      Jalan itu bukan lokasi. Kalau kita sudah berada di sebuah jalan, hal itu tidak berarti kita telah melintasi semua bagian dari jalan itu, begitulah faktanya. Saya sudah berada dijalan itu. Tapi saya tidak bisa menemukan lokasi rapat itu. Faktanya, jalan adalah lorong untuk mengantarkan kita ke lokasi yang kita tuju. Masalahnya, jika jalan hidup kita, jalan pikiran kita, jalan keyakinan kita sudah benar kita sering merasa jika kita sudah berada di ‘lokasi’ yang benar. Makanya, kebenaran sering kita amalkan secara membabi buta. Kita merasa berhak menindas orang lain atas nama kebenaran. Kita boleh memaki bawahan atas nama kebenaran. Kita boleh menghujat atasan dan pemimpin atas nama kebenaran. Dan kita, boleh ‘melakukan apapun juga’ selama kita berpijak diatas sendi-sendi kebenaran. Tidak bung. Anda baru sampai di Jalan tempat kebenaran itu ada. Namun Anda, belum sampai di lokasi kebenaran itu sendiri. Tak heran jika banyak atasan yang semena-mena. Banyak bawahan yang suka membangkang. Banyak teman yang berani melakukan apa saja demi memenangkan persaingan. Karena mereka lupa; bahwa yang mereka perjuangkan itu bukanlah sebuah kebenaran. Melainkan sebuah perjalanan yang belum selesai ditempuhnya. Maka tempuhlah perjalanan menuju kebenaran itu terlebih dahulu. Pastikan Anda sampai di lokasi kebenaran itu berada. Izinkan semua orang dari berbagai penjuru bumi menggunakan bermacam alat transportasi, dan menempuh jalur-jalur yang berbeda bisa tiba ditempat yang sama. Setelah berada disana; kita baru akan menyadari jika ternyata; kita berbeda ini memiliki tujuan dan kebenaran yang sama. Oh, ternyata jalan itu, bukanlah lokasi.

3.      Tidak ada jawaban yang salah. Saya salah berbelok. Harusnya ke kiri, bukan ke kanan. Tapi, itu saya lakukan karena seseorang memberitahukan untuk belok kanan. Lho, kok kesalahan saya malah ditimpakan kepada orang lain yang sudah berusaha untuk memberi bantuan. Saya bertanya ‘jalan ini ada dimana?’. Dia bilang, ‘diperempatan itu, Bapak belok kanan.” Dia benar. Bahkan sekalipun orang itu menjawab salah, bukan salah dia. Yang salah adalah saya yang bertanya kepada orang yang tidak mengetahui jawabannya. Kita? Oooh, sering sekali menimpakan nasib sial, kesulitan, kegagalan, kekecewaan dan semua perasaan yang tidak menyenangkan sebagai ulah yang diakibatkan oleh orang lain. Saya melakukan ini karena istri saya tidak merawat diri. Saya melakukan itu karena suami saya tidak perhatian lagi. Karir gue mandek gara-gara teman gue suka menjilat atasan. Saya malas kerja karena suasana di kantor kurang kondusif. Saya sering telat karena teman dan boss saya juga begitu gak diapa-apain. Lha, kok semua keburukan, kesialan, dan kelemahan kita malah ditimpakan penyebabnya kepada orang lain. ‘Lantas, elo mau aja menyerahkan nasib kepada orang lain?’ Begitu saya mendengar  teguran keras dari dalam diri saya. Jikapun orang lain telah menyebabkan kita menderita; belum tentu karena mereka sengaja. Mungkin karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membantu kita dengan lebih baik. Maka ketika kita mendapatkan jawaban atau bantuan dan perlakuan apapun dari orang lain, bukan salah mereka jika kita menerimanya. Kitalah yang mesti belajar untuk memilahnya; dan menjaga diri dari dampak buruknya.

4.      Tidak semua pengguna jalan tertib aturan.  Orang tidak sengaja menyulitkan kita? Iya. Tapi, kadang kita bisa kecipratan dampak buruk dari perilaku kotor orang lain. Sama seperti pengendara di jalan-jalan yang kita lalui. Ada saja tingkah polah pengendara lain yang menyusahkan kita. Angkot yang berhenti sembarangan. Motor yang ngecot kiri-ngecot kanan. Bis kota yang ngetem di tikungan. Bahkan, ada juga mobil pribadi yang menggunakan sirene polisi hanya untuk menakut-nakuti. Sama seperti hidup kita. Meskipun kita sudah berada di jalan yang lurus, namun banyak juga orang yang melintasinya secara ugal-ugalan. Mereka kelihatan percaya diri dengan kengawurannya. Mereka baru meringis nangis kalau pelipisnya sudah teriris oleh kerikil dari aspal yang terkikis. Sekitar tahun 1998, saya bahkan pernah menjadi korban tabrak lari. Seperti itulah kira-kira fakta hidup kita. Jangan pernah pergi melintasi jalan manapun jika tidak ingin bertemu dengan para pengendara ceroboh dan arogan seperti itu. Jangan pergi ke kantor jika tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Jangan bekerja jika tidak mau dibentak. Jangan keluar rumah jika tidak ingin berpapasan dengan tetangga judes. Jangan keluar kamar jika ogah melihat wajah marah orang serumah. Jangan hidup jika tidak mau menghadapi konsekuensi-konsekuensi lumrah sebagai mana layaknya. Tidak semua pengguna jalan tertib aturan. Begitulah faktanya. Maka mari kita hadapi kenyataan itu. Dan mari kita lintasi semua jalan dan jalur kehidupan yang semertinya kita tempuh. Meski berhadapan dengan resiko serupa itu.

5.      Jalan yang tidak pernah menyesatkan. Ada banyak jalan menuju ke Roma, katanya. Itu benar. Tetapi tidak berarti bahwa semua jalan bisa membawa kita ke Roma. Semua orang boleh memilih jalan hidupnya masing-masing, katanya. Itu benar. Tetapi, tidak berarti bahwa seseorang boleh bertindak semau udele dhewek. Kenyataannya ada jalan buntu. Bahkan jalan yang menyesatkan. Kewarasan kita patut dipertanyakan jika sudah tahu itu buntu tapi masih maksa menembusnya juga. Sudah tahu itu sesat, eh ngotot saja hanya karena merasa nikmat. Makanya, meski kita boleh memilih jalan hidup; kita perlu memilih jalan hidup yang tidak pernah menyesatkan. Adakah jalan seperti itu? Ada. Yaitu, jalan yang dibentangkan berdasarkan petunjuk dan bimbingan Tuhan. Untuk menemukan jalan itu, tidak cukup sekedar bertanya kepada pemuka agama. Pertama, mereka juga manusia yang bisa salah seperti kita. Kedua, pemuka agama tidak memiliki kemampuan untuk memaksa kita mengikuti kata-katanya. Ketiga, hanya diri kita yang bisa membuka pintu hati agar isyarat dan cahaya Ilahi bisa memasuki relung terdalamnya. Kita akan bisa menemukan jalan Ilahi itu hanya jika terus mencari, menerima, menyadari, mempersiapkan dan memahami tanda-tandanya. Dan salah satu tanda itu adalah; ketika kita ikhlas menjalani peran yang sehari-hari kita mainkan. Tanpa keikhlasan itu, jelas sekali jika kita tidak sedang melangkah dalam jalan yang tidak pernah menyesatkan itu

Setelah sekian puluh tahun perjalanan hidup kita, sudahkah kita menemukan jalan hidup yang benar-benar tepat untuk kita lalui? Jika kita pernah salah jalan, tak usah terlampau gusar. Segeralah memutar arah, lalu ikutilah jalur yang seharusnya. Setelah berada di jalan yang kita kira benar pun, teruslah memeriksa apakah kita berada di lajur yang benar? Boleh jadi, jalan kita sudah benar, namun kita berada di lajur yang salah, atau menuju kearah yang salah,  dan mengikuti rambu yang salah.  Mengapa? Karena sesuatu yang terlihat benar itu, belum tentu benar. Hanya ada satu kebenaran mutlak. Yaitu kebenaran yang datangnya dari Tuhan. Mengapa kebenaran dari Tuhan sifatnya mutlak? Karena Tuhan itu hanya satu, sehingga kebenaran yang ditentukanNya tidak ada yang bisa mempertanyakan. Mempertentangkan. Atau memberi tandingan. Dalam jalan  kebenaran yang dilandasi petunjuk Ilahi itu; yuk, kita sama-sama melangkah.

Catatan Kaki:
Isyarat kebenaran Ilahi hanya bisa ditangkap oleh pribadi yang menyediakan jiwa dan raganya untuk selalu bersih dalam menjalani hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar